Sejak
Bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa pemersatu melalui ikrar sumpah pemuda 28
Oktober 1928. Bahasa indonesia mengalami beberapa perubahan ejaan, hal ini
bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia. Menurut kbbi eja berarti melafalkan (menyebutkan)
huruf-huruf satu demi satu, sedangkan ejaan
berarti kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan
sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca.
Perubahan ejaan ini dilakukan oleh pemerintah atau pihak yang berwenang guna
meningkatkan kemajuan bahasa Indonesia serta membuat autran baku untuk
digunakan di Indonesia.
Berikut
ini sedikit rincian mengenai ejaan yang pernah digunakan di Indonesia :
Ejaan Van Ophuijsen
Ejaan
Van Ophuijsen atau Ejaan Lama adalah jenis ejaan yang pernah
digunakan untuk bahasa
Indonesia.
Pada tahun 1901 diadakan pembakuan ejaan bahasa Indonesia yang
pertama kali oleh Prof. Charles van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Moh.
Taib Sultan Ibrahim. Hasil pembakuan mereka yang dikenal dengan Ejaan Van Ophuijsen ditulis dalam
sebuah buku. Dalam kitab itu dimuat sistem ejaan
Latin untuk bahasa
Melayu di Indonesia.
Van Ophuijsen adalah seorang ahli
bahasa berkebangsaan Belanda. Ia pernah jadi inspektur sekolah di maktab perguruan
Bukittinggi, Sumatera Barat, kemudian menjadi profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Setelah menerbitkan Kitab Logat Melajoe,
van Ophuijsen kemudian menerbitkan Maleische Spraakkunst (1910). Buku
ini kemudian diterjemahkan oleh T.W. Kamil dengan judul Tata Bahasa Melayu
dan menjadi panduan bagi pemakai bahasa
Melayu di Indonesia.
Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu
menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf
Latin dan bunyi yang mirip
dengan tuturan Belanda, antara lain:
- huruf 'j' untuk menuliskan bunyi 'y', seperti
pada kata jang, pajah, sajang.
- huruf 'oe' untuk menuliskan bunyi 'u', seperti
pada kata-kata goeroe, itoe, oemoer (kecuali diftong
'au' tetap ditulis 'au').
- tanda diakritik, seperti koma ain dan
tanda trema, untuk menuliskan bunyi hamzah,
seperti pada kata-kata ma'moer, ‘akal, ta’, pa’,
dinamaï.
Huruf hidup yang diberi titik dua diatasnya seperti ä,
ë, ï dan ö, menandai bahwa huruf tersebut dibaca sebagai
satu suku kata, bukan diftong, sama seperti ejaan Bahasa Belanda sampai saat
ini.
Kebanyakan catatan tertulis bahasa Melayu pada masa
itu menggunakan huruf Arab yang dikenal sebagai tulisan Jawi.
Ejaan ini akhirnya digantikan oleh Ejaan Soewandi
atau Ejaan Republik pada 17
Maret 1947.
Ejaan Soewandi
Ejaan Soewandi atau Ejaan
Republik adalah jenis ejaan yang menggantikan ejaan Van Opuijsen
Ejaan ini disebut juga dengan edjaan Soewandi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu.
Ejaan ini mengganti ejaan sebelumnya, yaitu Ejaan Van Ophuijsen yang mulai berlaku sejak tahun 1901.
Perbedaan antara ejaan ini dengan ejaan Van Ophuijsen:
Huruf 'oe' menjadi 'u', seperti pada goeroe → guru.
Bunyi hamzah dan bunyi sentak yang sebelumnya
dinyatakan dengan (') ditulis dengan 'k', seperti pada kata-kata tak, pak,
maklum, rakjat.
Menggunakan huruf ‘Dj’ huruf ‘j’ seperti : Djakarta,
Djalan, Radja.
Huruf ‘c’ ditulis ’Tj’ seperti: Tjinta, Tjara,
Tjurang.
Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti ubur2,
ber-main2, ke-barat2-an.
Awalan 'di-' dan kata depan 'di' kedua-duanya ditulis
serangkai dengan kata yang mengikutinya. Kata depan 'di' pada contoh dirumah,
disawah, tidak dibedakan dengan imbuhan 'di-' pada dibeli, dimakan.
Ejaan Melindo
Ejaan Melindo adalah sistem ejaan Latin yang termuat dalam Pengumuman Bersama Edjaan
Bahasa Melaju-Indonesia (Melindo) (1959) sebagai hasil usaha penyatuan
sistem ejaan dengan huruf Latin di Indonesia dan Persekutuan Tanah
Melayu. Keputusan ini
dilakukan dalam Perjanjian Persahabatan Indonesia dan Malaysia pada tahun 1959.
Sistem ini tidak pernah sampai diterapkan.
Hal yang berbeda ialah bahwa di dalam Ejaan Melindo
gabungan konsonan tj, seperti pada kata tjinta, diganti dengan c menjadi cinta,
juga gabungan konsonan nj seperti njonja, diganti dengan huruf nc, yang sama
sekali masih baru.
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Pada 23 Mei 1972,
sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia Tun Hussein Onn danMenteri
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan
untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara
tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972,
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan
Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi"
dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) dan bahasa Indonesia. Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dirujuk
sebagai Ejaan Rumi
Bersama (ERB). Pada
waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdakan Republik
Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17 Agustus 1972 diresmikanlah pemakaikan ejaan baru
untuk bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan
Presiden No. 57 tahun 1972, ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut merupakan hasil yang dicapai
oleh kerja panitia ejaan bahasa Indonesia yang telah dibentuk pada tahun 1966.
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan ini merupakan penyederhanaan serta
penyempurnaan dari pada Ejaan Suwandi atau ejaan Republik yang dipakai sejak
dipakai sejak bulan Maret 1947.
Selanjutnya
pada tanggal 12 Oktober 1972,
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan
buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan
penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27
Agustus 1975 Nomor 0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan" dan "Pedoman Umum Pembentukan
Istilah".
Perubahan yang terdapat pada Ejaan Baru atau
Ejaan LBK (1967), antara lain:
·
"tj" menjadi "c" : tjutji → cuci
·
"dj" menjadi "j": djarak → jarak
·
"j" menjadi "y" : sajang → sayang
·
"nj" menjadi "ny" : njamuk → nyamuk
·
"sj" menjadi "sy" : sjarat → syarat
·
"ch" menjadi "kh": achir → akhir
Beberapa
kebijakan baru yang ditetapkan di dalam EYD, antara lain:
·
Huruf f, v, dan z yang merupakan unsur serapan dari bahasa asing
diresmikan pemakaiannya.
·
Huruf q dan x yang lazim digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan tetap
digunakan, misalnya pada kata furqan,
danxenon.
·
Awalan "di-" dan kata depan "di" dibedakan penulisannya.
Kata depan "di" pada contoh di
rumah, di sawah,
penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara "di-" pada dibeli atau dimakan ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya.
·
Kata ulang ditulis penuh dengan mengulang unsur-unsurnya. Angka dua
tidak digunakan sebagai penanda perulangan
Secara umum,
hal-hal yang diatur dalam EYD adalah:
1.
Penulisan huruf, termasuk huruf kapital dan huruf miring.
2.
Penulisan kata.
3.
Penulisan tanda baca.
4.
Penulisan singkatan dan akronim.
5.
Penulisan angka dan lambang bilangan.
6.
Penulisan unsur serapan.
Penjabaran lebih
jelasnya akan dilanjutkan pada artikel selanjutnya.
Terima kasih.
0 comments :
Post a Comment