Thursday, October 29, 2015

Sejak Bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa pemersatu melalui ikrar sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Bahasa indonesia mengalami beberapa perubahan ejaan, hal ini bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia. Menurut kbbi eja berarti melafalkan (menyebutkan) huruf-huruf satu demi satu, sedangkan ejaan berarti kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Perubahan ejaan ini dilakukan oleh pemerintah atau pihak yang berwenang guna meningkatkan kemajuan bahasa Indonesia serta membuat autran baku untuk digunakan di Indonesia.

Berikut ini sedikit rincian mengenai ejaan yang pernah digunakan di Indonesia :

Ejaan Van Ophuijsen
Ejaan Van Ophuijsen atau Ejaan Lama  adalah jenis ejaan yang pernah digunakan untuk bahasa Indonesia.
Pada tahun 1901 diadakan pembakuan ejaan bahasa Indonesia yang pertama kali oleh Prof. Charles van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Moh. Taib Sultan Ibrahim. Hasil pembakuan mereka yang dikenal dengan Ejaan Van Ophuijsen ditulis dalam sebuah buku. Dalam kitab itu dimuat sistem ejaan Latin untuk bahasa Melayu di Indonesia.

Van Ophuijsen adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda. Ia pernah jadi inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi, Sumatera Barat, kemudian menjadi profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Setelah menerbitkan Kitab Logat Melajoe, van Ophuijsen kemudian menerbitkan Maleische Spraakkunst (1910). Buku ini kemudian diterjemahkan oleh T.W. Kamil dengan judul Tata Bahasa Melayu  dan menjadi panduan bagi pemakai bahasa Melayu di Indonesia.
Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda, antara lain:
  • huruf 'j' untuk menuliskan bunyi 'y', seperti pada kata jang, pajah, sajang.
  • huruf 'oe' untuk menuliskan bunyi 'u', seperti pada kata-kata goeroe, itoe, oemoer (kecuali diftong 'au' tetap ditulis 'au').
  • tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan bunyi hamzah, seperti pada kata-kata ma'moer, ‘akal, ta’, pa’, dinamaï.
Huruf hidup yang diberi titik dua diatasnya seperti ä, ë, ï dan ö, menandai bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata, bukan diftong, sama seperti ejaan Bahasa Belanda sampai saat ini.
Kebanyakan catatan tertulis bahasa Melayu pada masa itu menggunakan huruf Arab yang dikenal sebagai tulisan Jawi.

Ejaan ini akhirnya digantikan oleh Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik pada 17 Maret 1947.


Ejaan Soewandi
Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik adalah jenis ejaan yang menggantikan ejaan Van Opuijsen
Ejaan ini disebut juga dengan edjaan Soewandi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu.
Ejaan ini mengganti ejaan sebelumnya, yaitu Ejaan Van Ophuijsen yang mulai berlaku sejak tahun 1901.

Perbedaan antara ejaan ini dengan ejaan Van Ophuijsen:
Huruf 'oe' menjadi 'u', seperti pada goeroeguru.
Bunyi hamzah dan bunyi sentak yang sebelumnya dinyatakan dengan (') ditulis dengan 'k', seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
Menggunakan huruf ‘Dj’ huruf ‘j’ seperti : Djakarta, Djalan, Radja.
Huruf ‘c’ ditulis ’Tj’ seperti: Tjinta, Tjara, Tjurang.
Huruf ‘kh’ ditulis dengan ‘ch’ seperti: Chairil, machloe’
Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti ubur2, ber-main2, ke-barat2-an.
Awalan 'di-' dan kata depan 'di' kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Kata depan 'di' pada contoh dirumah, disawah, tidak dibedakan dengan imbuhan 'di-' pada dibeli, dimakan.

Ejaan Melindo
Ejaan Melindo adalah sistem ejaan Latin yang termuat dalam Pengumuman Bersama Edjaan Bahasa Melaju-Indonesia (Melindo) (1959) sebagai hasil usaha penyatuan sistem ejaan dengan huruf Latin di Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu. Keputusan ini dilakukan dalam Perjanjian Persahabatan Indonesia dan Malaysia pada tahun 1959. Sistem ini tidak pernah sampai diterapkan.
Hal yang berbeda ialah bahwa di dalam Ejaan Melindo gabungan konsonan tj, seperti pada kata tjinta, diganti dengan c menjadi cinta, juga gabungan konsonan nj seperti njonja, diganti dengan huruf nc, yang sama sekali masih baru.


Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia Tun Hussein Onn danMenteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi" dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) dan bahasa Indonesia. Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB). Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdakan Republik Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17 Agustus 1972 diresmikanlah pemakaikan ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972, ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut merupakan hasil yang dicapai oleh kerja panitia ejaan bahasa Indonesia yang telah dibentuk pada tahun 1966. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan ini merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan dari pada Ejaan Suwandi atau ejaan Republik yang dipakai sejak dipakai sejak bulan Maret 1947.
Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 Nomor 0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dan "Pedoman Umum Pembentukan Istilah".


Perubahan yang terdapat pada Ejaan Baru atau Ejaan LBK (1967), antara lain:
·         "tj" menjadi "c" : tjutji → cuci
·         "dj" menjadi "j": djarak → jarak
·         "j" menjadi "y" : sajang → sayang
·         "nj" menjadi "ny" : njamuk → nyamuk
·         "sj" menjadi "sy" : sjarat → syarat
·         "ch" menjadi "kh": achir → akhir
Beberapa kebijakan baru yang ditetapkan di dalam EYD, antara lain:
·         Huruf f, v, dan z yang merupakan unsur serapan dari bahasa asing diresmikan pemakaiannya.
·         Huruf q dan x yang lazim digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan tetap digunakan, misalnya pada kata furqan, danxenon.
·         Awalan "di-" dan kata depan "di" dibedakan penulisannya. Kata depan "di" pada contoh di rumah, di sawah, penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara "di-" pada dibeli atau dimakan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
·         Kata ulang ditulis penuh dengan mengulang unsur-unsurnya. Angka dua tidak digunakan sebagai penanda perulangan
Secara umum, hal-hal yang diatur dalam EYD adalah:
1.    Penulisan huruf, termasuk huruf kapital dan huruf miring.
2.    Penulisan kata.
3.    Penulisan tanda baca.
4.    Penulisan singkatan dan akronim.
5.    Penulisan angka dan lambang bilangan.
6.    Penulisan unsur serapan.

Penjabaran lebih jelasnya akan dilanjutkan pada artikel selanjutnya.

Terima kasih.
Sumpah pemuda lahir berdasarkan Kongres Pemuda kedua, tetapi upaya mempersatukan organisasi-organisasi pemuda pergerakan dalam satu wadah telah dimulai sejak Kongres Pemuda Pertama 1926. Sebagai kelanjutannya, tanggal 20 Februari 1927 diadakan pertemuan, namun pertemuan ini belum mencapai hasil yang final. Sebagai penggagas Kongres Pemuda Kedua adalah Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Hindia Belanda.



Pada tanggal 3 Mei 1928 diadakan pertemuan lagi untuk persiapan kongres kedua, dan dilanjutkan pada 12 Agustus 1928. Pada pertemuan terakhir ini telah hadir perwakilan semua organisasi pemuda dan diputuskan untuk mengadakan kongres pada bulan Oktober 1928, dengan susunan panitia yang membagi jabatan pimpinan kepada satu organisasi pemuda (tidak ada organisasi yang rangkap jabatan) sebagai berikut:
  • Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI)
  • Wakil Ketua: R.M. Joko Marsaid (Jong Java)
  • Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond)
  • Bendahara: Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond)
  • Pembantu I: Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond)
  • Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia)
  • Pembantu III: R.C.I. Sendoek (Jong Celebes)
  • Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon)
  • Pembantu V: Mohammad Rochjani Su'ud (Pemoeda Kaoem Betawi)

Gambar :https://www.facebook.com/Kemdikbud.RI/


Friday, October 23, 2015



Bahasa baku adalah salah satu ragam bahasa yang dijadikan pokok dasar ukuran atau standar. Ragam bahasa baku lazim digunakan dalam konteks berikut :
  1. Komunikasi resmi yaitu dalam surat menyurat resmi, surat menyurat dinas, pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi resmi, dan sebagainya.
  2. Wacana teknis seperti dalam laporan resmi, karangan ilmiah, buku pelajaran, dan sebagainya.
  3. Pembicaraan di depan umum seperti ceramah, kuliah, seminar, dan sebagainya.
  4. Pembecaraan dengan orang yang dihormati.
Pemakaian (1) dan (2) tertuju pada ragam bahasa tertulis, sedangkan pemakaian (3) dan (4) didukung oleh ragam bahasa baku lisan.



Ragam bahasa baku dapat ditandai dengan ciri-ciri berikut.
  •    Penggunaan Kaidah Tata Bahasa Normatif
Kaidah bahasa normatif selalu digunakan secara eksplisit dan konsisten dengan jalan berikut:




  •       Penggunaan Kata-Kata Baku
Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata umum yang sudah lazim digunakan yang frekuensi menggunakannya cukup tinggi. Kata-kata yang belum lazim atau yang masih bersifat kedaerahan sebaiknya tidak digunakan. 



  •         Penggunaan Ejaan Resmi dalam Ragam Tulis
Ejaan yang kini berlaku dalam bahasa Indonesia adalah ejaan yang disempurnakan (disingkat EYD). EYD mengatur mulai dari penggunaan huruf, penulisan kata (dasar, berimbuhan, gabungan, ulang, dan serapan), penulisan partikel, penulisan angka, penulisan serapan, sampai pada penggunaan tanda baca.



  •     Penggunaan Lafal Baku dalam Ragam Lisan
Hingga saat ini lafal yang benar atau baku dalam bahasa Indonesia belum pernah ditetapkan. Tetapi ada pendapat umum bahwa lafal baku dalam bahasa Indonesia adalah lafal yang bebas dari ciri-ciri lafal dialek setempat atau ciri-ciri bahasa daerah



  •        Penggunaan Kalimat secara Efektif
Kalimat-kalimat yang digunakan dapat dengan tepat menyampaikan pesan pembicara atau penulis kepada pendengar atau pembaca, persis seperti yang dimaksud oleh si pembicara atau si penulis.
Keefektifan kalimat dapat dicapai dengan cara-cara berikut.

Add caption


Semoga membantu......

Thursday, October 22, 2015

Sebetulnya sudah banyak yang membahas tentang penggunaan kata baku di beberapa blog. Tulisan ini hanya melengkapi referensi bagi kalian yang mau belajar tentang kata baku.

Kata baku adalah kata yang benar-benar menurut sesuai kaidah dan tata bahasa dan ejaan yang disempurnakan. Sedangkan kata yang tidak baku adalah kata yang biasa digunakan karena pengaruh dari bahasa lain (asing/daerah).

Contoh :
  1. Tadi saudara bilang sama saya.
  2. Tadi saudara katakan kepada saya.
  1. Kamu punya suami adalah saya punya kakak.
  2. Suamimu adalah kakak saya.
  1. Dia sudah cerita tentang dia sudah punya pengalaman.
  2. Dia sudah menceritakan pengalamannya.
  1. Bagi negara kita banyak memerlukan tenaga ahli.
  2. Negara kita banyak memerlukan tenaga ahli.
  1. Rambutnya panjang amat.
  2. Rambutnya panjang sekali.
  1. Maunya ia mengerjakan pekerjaan itu.
  2. Keinginannya agar ia yang mengerjakan pekerjaan itu.
  1. Kami haturkan beribu-ribu terima kasih.
  2. Kami ucapkan terima kasih.
  1. Para hadirin kami persilakan duduk.
  2. Hadirin dipersilakan duduk.
  1. Dia seorang ahli fisika yang amat ternama.
  2. Dia ahli fisika ternama.
  1. Hidup teratur perlu diterapkan semenjak kecil sekali.
  2. Hidup teratur perlu diterapkan semenjak kecil.

Kalimat nomor satu (1) merupakan kalimat yang menggunakan kata tidak baku. Ketidakbakuan itu terjadi karena adanya interferensi/ campur kode dari bahasa daerah.


Buku Pintar Bahasa dan Sastra Indonesia – Aneka Ilmu

Wednesday, October 21, 2015

7.     Pada tanggal 21 November 1983 bertempat di Hotel Kartika Candra, Jakarta diadakan kongres bahasa Indonesia keempat. Kongres tersebut dibuka oleh Bapak Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kongres bahasa keempat mengambil kesimpulan dan usul tindak lanjut dalam hubungan dengan masalah-masalah dalam bidang bahasa, pengajaran bahasa dan pembinaan bahasa dalam kaitannya dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana pembangunan nasional yang meliputi:

a.       Sarana komunikasi pemerintah dan kemasyarakatan;
b.      Sarana pengembangan kebudayaan;
c.       Sarana pendidikan dan pengajaran, termasuk wajib belajar;
d.      Sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

8.  Pada tahun 1988 di Jakarta diadakan lagi kongres bahasa Indonesia kelima. Kongres kelima pada hakikatnya merupakan usaha mewujudkan tindak lanjut dari kongres bahasa keempat. Pada kongres keempat diputuskan kegiatan tindak lanjut yang berupa pernyataan :
a.  Perlu segera disusun tatabahasa baku bahasa Indonesia sebagai tatabahasa acuan yang lengkap dengan memperhatikan berbagai ragam bahasa indonesia, baik ragam tulis maupun lisan
b.  Perlu segera disusun kamus besar bahasa Indonesia yang memuat tidak hanya bentuk-bentuk leksikon tetapi juga lafal yang dianggap baku, kategori sintaksis setiap kata, dan batasan serta contoh pemakaian yang lebih lengkap. Jika mungkin kamus ini perlu dilengkapi dengan gambar dan keterangan mengenai asal kata.

Itulah secara singkat perkembangan bahasa Indonesia sejak lahir hingga keberadaannya saat ini,mungkin masih banyak kegiatan lain yang tidak tercatat tetapi tidak kurang pentingnya dalam menunjang perkembangan bahasa Indonesia.
1.   Pada tanggal 16 Agustus 1972 terjadi peristiwa yang sangat penting dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia, yaitu diresmikannya ejaan baru yang diberi nama Ejaan Yang Disempurnakan oleh Bapak Presiden RI. Ejaan tersebut merupakan bentuk perwujudan dari usaha-usaha penyempurnaan Ejaan Soewandi yang dilakukan oleh orang-orang yang tergabung dalam LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan). Ejaan yang diresmikan saat itu sampai sekarang masih dibakukan pemakaiannya.

     Pada tanggal 1 februari 1975 berdirilah Pusat Pembinaan dan Pengembangan yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa tersebut sebagai pengganti nama dari Lembaga Bahasa Nasional.
Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa banyak mengadakan kegiatan dalam usaha penyempurnaan bahasa Indonesia. Diantara kegiatan-kegiatannya, yaitu seperti: mengadakan seminar dan konferensi; mengadakan berbagai penelitian; menyusun kamus istilah yang bertalian dengan berbagai disiplin ilmu; serta mengadakan pembinaan dan penyuluhan bahasa kepada masyarakat, baik melalui radio, TVRI, dan media cetak lainnya.

8   Pada tanggal 28 Oktober 1978 terjadi kongres bahasa Indonesia ketiga yang bertempat di Hotel Indonesia, Jakarta. Konres tersebut dihadiri kurang lebih 500 tokoh masyarakat dari seluruh Indonesia, serta beberapa undangan dari luar negeri. Dalam kongres tersebut, kertas kerja mengenai permasalahan bahasa yang telah dibicarakan sekitar 50 buah.  
      a.    Umum 
  1. Kemahiran bahasa Indonesia harus menjadi salah satu syarat keprofesian dan kepegawaian
  2. Kongres Kebudayaan Nasional yang akan menggariskan berbagai kebijakan di bidang kebudayaan dalam berbagai aspeknya perlu segera diadakan.

     b.       Pengembangan bahasa
  1. Penyusunan pedoman lafal baku perlu segera dimulai
  2. Penguasaan kaidah ejaan dan lafal baku perlu ditingkatkan.
  3. Penyusunan tata bahasa yang menggambarkan norma bahasa atau adab bahasa harus mendapat prioritas.
  4. Kamus baku bahasa Indonesia perlu segera diterbitkan
  5. Sistem bilangan yang berlaku di negara Anglo-Sakson dan Perancis hendaknya menjadi dasar sistem bilangan Indonesia yang baru.


c   c.   Pembinaan bahasa
  1. Dewan Nasional Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, demi partisipasi segenap lapisan masyarakat dalam pelaksanaan garis haluan, perlu dibentuk.
  2. Badan penerjemah Nasional demi pencerdasan rakyak perlu digalakan.
  3. Penulisan buku pelajaran asli yang bermutu dan memperlihatkan latar belakang budaya siswa yang berbeda perlu disegerakan.
  4. Penataran guru bahsa dan pengembangan metode pengajaran bahasa, termasuk bahasa asing perlu ditingkatkan.
  5. Keterampilan mengarang perlu diutamakan
  6. Pembinaan bahasa daerah perlu diberi tempat dan waktu yang wajar di dalam kurikulum.

1.   Pada tahun 1942 masuknya Jepang ke Indonesia sangat menunjang terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Karena pemakaian bahasa Indonesia semasa pemerintahan Belanda mendapat larangan. Belanda mengharapkan bahasanyalah yang harus biasa digunakan, baik dikalangan masyarakat maupun di lembaga-lembaga pemerintah. Sedangkan pada masa pendudukan Jepang justru sebaliknya, bahasa Belanda yang tadinya harus digunakan malah mendapat larangan yang keras. Dengan kenyataan demikian bahasa Indonesia cukup mendapat kesempatan untuk berkembang. Semula mendapat tekanan, pada saat itu mendapat kebebasan bahkan merupakan suatu keharusan untuk digunakan oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Di lembaga-lembaga pendidikan sejak saat itu menjadi materi pokok yang perlu dipelajari, bahkan para guru dalam mengajar diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar.

   Tahun 1945 Jepang menyerah kepada sekutu lalu Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Bahasa Indonesia sejak saat itu mempunyai kedudukan yang pasti menjadi bahasa nasional di Negara Republik Indonesia. Bukti kongkrit kenyataan tersebut dapat kita baca pasal 36 bab XV Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia.”
    
    Pada tahun 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia kedua, yang diselenggarakan di kota Medan. Kongres ini diselenggarakan pada tanggal 28 Oktober s.d. 2 November. Kongres ini diadiri oleh pembesar-pembesar negara, wakil-wakil pers, ahli-ahli bahasa, dan tamu undangan dari negara tetangga yang berbahasa serumpun.
Keputusan yang diperoleh dari Kongres Bahasa II di Medan yaitu :
a.       Kedudukan bahasa
  1. Politik bahasa harus mengatur kedudukan dan hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
  2. Politik bahasa harus membangkitkan rasa cinta bahasa dan harga diri.
  3. Dasar bahasa Indonesia yang disesuaikan dengan pertumbuhan dalam masyarakat.

b.      Pengembangan bahasa
  1. Buku logat (lafal) bahasa Indonesia harus disusun.
  2. Ejaan bahasa Indonesia harus disempurnakan berdasarkan prinsip fonemis dan diresmikan dengan perundang-undangan.
  3. Tata bahasa normatif bahasa Indonesia untuk sekolah dasar dan menengah harus disusun dalam jangka pendek.
  4. Tata bahasa deskriptif yang lengkap yang dilindungi undang-undang harus disusun dalam waktu panjang.
  5. Tata istilah yang bersumber pada bahasa yang lazim, bahasa internasional, dan bahasa daerah perlu dikembangkan.
  6. Ragam bahasa administratif dan perundang-undangan, ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa pergaulan, ragam bahasa pers, radio, film, serta ragam bahasa kesusastraan harus disempurnakan.

c.       Pembinaan bahasa
  1. Mimbar kuliah bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa negara tetangga, bahasa Arab, bahasa Tionghoa, dan Sansekerta perlu diadakan.
  2. Jawatan penerjemah negara harus diadakan.
  3. Lembaga penyusun kamus etimologi perlu didirikan.
  4. Lembaga bahasa Indonesia untuk pengembangan dan pembinaanya harus didirikan.
  5. Balai penerjemah sastra untuk penerjemah hasil sastra dunia, daerah, India, Persia, Arab, harus dibentuk.
  6. Penulisan buku keahlian yang disertai penghargaan yang menarik harus digalakan.
  7. Bimbingan pada pertumbuhan bahasa Indonesia dan pada usaha menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bangsa Indonesia harus diusahakan.
Demi terwujudnya kesempurnaan bahasa Indonesia serta kemantapan para pemakainya, telah terjadi berbagai peristiwa penting dalam arena sejarah perkembangan bahasa Indonesia. Peristiwa itu secara kronologis dapat disebutkan sebagai berikut :

Pada tahun 1933 sastrawan-sastrawan muda membuat suatu himpunan, dengan dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Himpunan itu diberi nama Pujangga Baru. Lahirnya angkatan Pujangga Baru sangat Berperan dalam perkembangan bahasa Indonesia, karena para pengarang muda yang tergabung dalam himpunan itu tidak menggunakan bahasa Melayu yang bercorak minangkabau dalam membuahkan karya-karyanya melainkan sudah mencerminkan bahasa Indonesia.

Pada tahun 1938 terjadi peristiwa penting berkenaan dengan perkembangan bahasa Indonesia. Peristiwa itu adalah diadakannya Kongres Bahasa Indonesia I yang dilaksanakan di kota Solo. Keputusan yang diperoleh dari hasil kongres tersebut secara garis besar yaitu :
a.       Kedudukan bahasa
      1)     Bahasa Indonesia diusulkan menjadi bahasa resmi
    2)  Bahasa Indonesia diusulkan menjadi bahasa pengantar dalam badan-badan perwakilan dan perundang-undangan.
b.      Pengembangan bahasa
      1)      Ejaan yang berlaku dipertahankan, tetapi pembaharuan ejaan perlu dipertimbangkan.
      2)      Ejaan yang bersifat internasional perlu juga diajarkan disekolah.
      3)      Tata bahasa baru yang mantap harus segera disusun.
      4)      Leksikon (kosakata) harus dikembangkan.
c.       Pembinaan bahasa
      1)      Bahasa surat kabar harus diperbaiki
      2)      Pendidikan Institut Bahasa Indonesia perlu dipertimbangkan
      3)      Pendirian Fakultas Sastra dan Filsafat juga perlu diperbaiki.

Pendapat J.S. Badudu bahwa Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo pada hakikatnya merupakan kegiatan pengukuhan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional di tengah masyarakat Indonesia.
     Nama “Bahasa Indonesia” mulai berkembang di tanah air sejak awal abad kedua puluh, tapatnya tanggal 28 Oktober 1928. Terkumandangnya nama ini merupakan salah satu wujud ikrar atau janji para pemuda yang pada saat itu sedanggigih bersemangat menyusun strategi untuk menumpas para penjajah. Para pamuda pada saat itu mulai menyadari bahwa demi terwujudnya kekuatan yang mantap dalam menumpas kaum penjajah perlu adanya kesatuan dan persatuan dari seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia. Kemudian mereka menyadari untuk mengangkat salah satu bahasa untuk dijadikan pemersatu suku bangsa yang beraneka ragam tersebut.
     Bahasa daerah yang diangkat dan dijuluki “Bahasa Indonesia” sejak saat itu ialah bahasa Melayu Riau. Bahasa tersebut merupakan salah satu dari beberapa dialek bahasa Melayu yang ada. Orang banyak mengemukakan bahwa bahasa Melayu Riau sering disebut bahasa Melayu Pasar. Mungkin diantara kita ada yang bertanya, “mengapa bahasa Melayu yang diangkat menjadi bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa atau Sunda yang sudah cukup banyak pemakainya?”
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya :
1.          Bahasa Melayu merupakan linguafranca di Indonesia. Malaka pada masa jayanya menjadi pusat perdagangan dan pusat pengembangan agama islam. Dengan bantuan para pedagang, bahasa Melayu disebarkan ke seluruh pantai nusantara terutama di kota-kota pelabuhan. Bahasa Melayu menjadi bahasaperhubungan antar individu. Karena bahasa Melayu ini sudah tersebar dan bisa dikatakan sebagai bahasa sebagian penduduk, Gubernur Jendral Rochussen menetapkan bahwa bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di sekolah untuk mendidik calon pegawai negeri Bumi Putera.
2.      Bahasa Melayu mempunyai sistem yang sederhana ditinjau dari segi fonologi,morfologi, dan sintaksis. Karena sistemna yang sagat sederhana itu, bahasa Melayu mudah dipelajari. Dalam bahasa itu tidak dikenal tingkatan seperti dalam bahasa Jawa dan Sunda. Serta tidak memiliki perubahan kata kerja seperti dalam bahasa Inggris.
3.       Faktor Psikologi, yaitu bahwa suku bangsa Jawa, Sunda, dan suku-suku lainnya telah dengan sukarela menerima bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia atau bahasa nasional. Mereka menganggap bahwa kesatuan dan persatuan lebih penting daripada kepentingan suku.